Monday, May 5, 2014

Setelah kulewati garis kematian

Bulan April lalu adalah masa-masa yang membuatku sibuk dengan dua laporan dan satu proposal. Dua laporan praktikum/kuliah blok Signal Processing and Acoustic. Satu proposal riset yang sulit kukerjakan karena jadwalku dan pembimbingku tidak pernah cocok. Aku memilih untuk memulai dengan proposal riset dan ternyata pilihan ini salah. Aku tidak bisa menulis secara progresif. Kemudian ketika mendekati deadline laporan di akhir April, aku menulis dua laporan tersebut yang ternyata tak semudah yang kubayangkan.



Ternyata kemampuanku mengetik rumus LaTeX tidak secepat yang kubayangkan. Ternyata copy-paste (salin-pasang) gambar dari MATLAB ke LaTeX tidak semudah yang kubayangkan karena jumlah gambar yang banyak. Jika aku tahu hal seperti ini bakal terjadi, seharusnya kumulai dengan dua laporan barulah aku mengerjakan proposal. Aku terbiasa mengerjakan hal yang jelas ujung-pangkalnya lebih dahulu  atau hal yang mudah kumengerti kemudian barulah aku mengerjakan hal yang sulit dan tak jelas arahnya.



Keputusanku yang salah ini membuat tulisanku pada kedua laporan tersebut menjadi jelek walaupun terkirim sebelum deadline: 30 April 2014, 24:00. Selain itu, proposal juga tidak selesai. Aku gagal di ketiganya. Ternyata urutan mengerjakan suatu hal itu punya dampak "sistemik".



Kini aku mulai berhati-hati dalam mengambil kuliah, karena jadwalnya dan deadline tugasnya bisa mengganggu penelitianku. Aku juga harus berhati-hati dengan urusan administratif dari universitas, bank, kantor pajak, maupun kantor imigrasi, yang menghabiskan waktu dan pikiranku. Aku harus waspada, tidak boleh kehilangan kunci seperti tahun lalu yang membuat bulan Novemberku rusak karena harus bolak-balik mengurus duplikat kunci. Bikin janji sama orang juga kukurangi.


***

Pada hari Rabu 30 April 2014, aku berada dari pagi hingga malam di perpustakaan Uni Oldenburg. Aku menulis dua laporan Signal Processing Acoustic I and II. Aku sudah memasukkan yang II ke Dropbox minggu sebelumnya, akan tetapi partnerku meminta koreksi dan beberapa tambahan. Sedangkan aku juga harus menulis yang I. Akhirnya kucoba menulis semampuku. Jam 22:30, partnerku untuk kuliah II merasa puas. Aku pun kembali menyelesaikan kuliah I. Ternyata gambar-gambarnya sangat banyak. Akhirnya aku hanya menaruh gambar dan tidak menulis banyak penjelasan. Jam 23:30, semua sudah kutaruh di Dropbox: "selesai tak selesai, kumpulkan".



Jam 24:00 perpustakaan tutup. Dari smartphone, kulihat jadwal bus 23:38. Aku pun tak mampu mendapatkan bus itu. Aku harus mematikan laptop dan packing barang-barang. Aku lihat jadwal kereta terakhir adalah 00:06. Karena tiada bus lagi, aku menghitung bahwa tak mungkin aku mendapatkan kereta ini. Kereta baru ada lagi jam 5:35 pagi. Saat itu, pilihanku sedikit:
  • menginap di rumah teman di Oldenburg, lalu keesokan hari pulang ke Bremen
  • menginap di hotel atau hostel di Oldenburg
  • naik taksi dari Oldenburg ke Bremen
  • keliling-keliling Oldenburg sampai pagi lalu pulang ke Bremen

Aku baru selamat melewati garis kematian (deadline) dari dua laporan, namun tidak selamat melewati deadline transportasi bus dan kereta api. Bagaimanakah pilihanku selanjutnya?

Aku mencoba menelpon temanku di Oldenburg. Tiada jawaban. Jadi pilihan menginap di rumah teman harus kucoret. Naik taksi dari Oldenburg ke Bremen berbiaya 85 EUR. Cukup mahal! Menginap di hostel berbiaya 43 EUR tapi biasanya hostel meminta booking terlebih dahulu, kaga bisa dadakan. Selain itu, aku juga harus mencari di mana hostel tersebut berada. Akhirnya kupilih keliling Oldenburg sampai pagi. "Dari jam 12 malam sampai jam 5 pagi, apa yang harus kulakukan?", pikirku saat itu.

Aku menaruh tasku nan berat dengan laptop dan catatan di stasiun Oldenburg. Sebelumnya aku berjalan kaki 3,5 km dari universitas ke stasiun karena ketinggalan bus. Setelah menaruh tas, aku kembali ke kota dan melihat-lihat apa saja kehidupan malam yang ditawarkan di sana.

Di kota, aku tak sengaja bertemu Number Two (Oh, ya, I am Number Sixteen). Lepas tengah malam, dia ingin pulang ke rumahnya. Aku curhat kilat mengenai garis kematian pengolahan sinyal dan kalau aku ketinggalan kereta jadi harus menunggu 5 jam kereta berikutnya. Aku bertanya bar dan kafe apa saja yang buka dari malam sampai pagi. Dia memberiku beberapa pilihan lokasi.

Setelah mengobrol sebentar dengan Number Two dan pacarnya, aku melanjutkan perjalananku keliling Oldenburg. Aku tidak tahu kehidupan malam seperti apa di Oldenburg. Aku melihat beberapa Irish Pubs dan semuanya penuh. Aku pun berjalan semakin dalam ke pusat kota. Aku berpikir Bar Celona di tengah kota adalah tempat yang cocok untuk duduk dan minum sambil menunggu pagi.

Sebelum sampai di sana, aku bertemu sekelompok orang muda yang teralkoholisasi. Satu orang yang termabuk tiba-tiba mengajak bicara. Dia bertanya aku dari mana dan mau ke mana. Aku bilang aku ketinggalan kereta dan menunggu kereta pagi dengan keliling-keliling merasakan dunia malam Oldenburg. Lalu dia mengajakku bergabung dengan grupnya. Aku pun mengiyakan. Aku bergabung.

Mereka yang mengajakku bergabung adalah orang-orang yang sedang merayakan ulang tahun satu orang. Entah kenapa, aku bisa diajak gabung. Daripada aku kesepian, aku pun ikut mereka ke klub manapun yang mereka masuki. Mereka pun berbagi Havana Cola bersamaku. Kami pun berkenalan dan mengobrol ringan selama mengantri masuk klub.

Klub pertama adalah Amadeus dan antriannya panjang.Tempat ini bertema rock. Lagunya tidak pas buatku dan sebagian besar di antara kami. Aku tidak cocok dengan hard rock. Di sini, aku bertemu rekan kerjaku di Jade HS Oldenburg. Dia suka rock.  Biaya masuk 4 EUR, titip jaket 1 EUR, dan aku minum 1 bir seharga 2,5 EUR. Totalnya 7,5 EUR. Seingatku, aku ditraktir minum bir, jadinya aku keluar uang 5 EUR di sini.

Berhubung banyak yang tidak cocok dengan Amadeus, kami pun keluar dan mencari klub lain. Klub kedua adalah Cubes dan antriannya panjang juga. Oh, ya, grup yang mengajakku berkata bahwa klub yang bagus adalah klub yang antriannya paling panjang. Tempat ini bertema hip-hop, reggaeton, dan pop, sesuai seleraku. Di klub ini ada "Tanz in den Mai" (Tarian memasuki bulan Mei). Di dalam klub, lagu-lagunya cocok dengan selera kami. Kami pun berdansa berdansa. Biaya masuk 5 EUR dan titip jaket 1 EUR. Aku pun hanya meminum air bening seharga 2,5 EUR. Jadinya aku keluar uang 8,5 EUR di sini.

Di Cubes, aku berpisah dengan grup yang mengajakku. Mereka keluar klub jam 4 pagi lalu menginap di Oldenburg. Sedangkan aku menunggu kereta jam 5:35 yang akan membawaku ke Bremen. Oh, ya, grup yang mengajakku ini mayoritas berasal dari Bremen. Mereka sama sepertiku, sama sekali tidak kenal Oldenburg. Jadinya mereka memilih klub secara acak, dan hanya melihat panjang antrian masuk sebagai patokan.

Jam 5 kurang, aku keluar dari Cubes lalu berjalan menuju stasiun. Lalu ada orang mabuk lagi yang memanggilku dan mengajak ngobrol. Aku mengobrol sebentar lalu melanjutkan ke stasiun. Sesampainya di stasiun, kuambil tasku dari loker dan kutunggu kereta 5:35. Kereta ini pun membawaku sampai ke Bremen.

Garis kematian ini memberiku kenangan yang berbekas. Aku jadi mengerti kehidupan malam di Oldenburg. Aku juga jadi mengerti bahwa sepeda memiliki peranan penting di Oldenburg. Berjalan kaki 3,5 km itu lama juga: 45 menit. Aku juga belajar bahwa kita harus waspada terhadap peristiwa kebetulan. Kadang hal tak terduga bisa memberi kita suatu hal bermakna. Karena suatu kebetulan, aku bisa berkenalan dengan orang baru. Gambar di bawah ini, menunjukkan bahwa garis kematian memberiku stigmata, pertanda bahwa aku lulus kursus bahasa roh.


Stigmata setelah melewati garis kematian, pertanda lahir baru dan lulus kursus bahasa roh


Kini aku kembali lagi dalam kehidupan selanjutnya, untuk melewati garis-garis kematian lainnya. Di sana, ada batu mil yang harus kulewati. Aku pun bingung kenapa mereka menggunakan batu mil (milestone), padahal di Jerman, orang menggunakan kilometer. Bukankah seharusnya "kilometerstone" lebih logis daripada "milestones"?

***

Garis kematian pengolahan sinyal bisa dibaca di tempat lain:
Kematian ini telah menebus dosa-dosa kebodohan. Aku pun lahir baru menjadi Anak Manusia.




Oldenburg, 5 Mei 2014

iscab.saptocondro

Friday, April 25, 2014

Kontainer Cairan

Hari ini, aku bertemu Rani, mantan Ketua PPI Bremen. Kali ini, obrolan di bawah ini bukan obrolan imajiner seperti obrolan IKIP lalu.

Rani: "Condro!"
Aku: "Eh, Rani! Apa kabar?"
Rani: "Baik! Lu lagi ngapain di sini?"
Aku: "Mau PhD meeting. Lu lagi bawa susu?"
(melihat kontainer cairan yang digotongnya)
Rani: "Bukan! Ini liquid nitrogen."
(Oh, ternyata nitrogen cair)
Aku: "Lu ke gedung mana?"
Rani pun menunjuk ke gedung W3.
Rani: "Bye!"
Secepat kilat kami pun menghilang ke gedung tujuan masing-masing.

***

Hari ini, aku kurang tidur karena keracunan deadline selama bulan April ini. Mengapa aku membayangkan kontainer susu cair? Padahal ini bukan peternakan sapi di Oldenburg maupun di Pangalengan atau Lembang. Ini Universitas Oldenburg, kampus Wechloy, tempat bersemayamnya mahasiswa-mahasiswi dan peneliti fisika, kimia dan biologi. Jadi kontainer nitrogen cair lebih masuk akal daripada susu sapi.

Aku pun teringat masa-masa tiga bulan pertama di Bayern atau Bavaria dulu tinggal dekat kandang sapi. Aroma susu sapi dan tahi sapi bergonta-ganti tersebar di udara. Kini, di Jerman Utara, yang kucium pagi hari ini adalah aroma fermentasi biji-bijian menjadi bir Becks. Memang setiap kota dan kampung memiliki aroma yang berbeda-beda.

Aku pun teringat bahwa seekor sapi mengajarkanku mengenai Logika dan Teori Himpunan. Sapi yang sehat memiliki 2 kaki depan, 2 kaki belakang, 2 kaki kanan dan 2 kaki kiri. Berapakah jumlah kaki sapi ini?

Orang yang tidak bisa menguasai kebijaksanaan sapi, akan terjerumus oleh sapi. Aku pun teringat pimpinan partai politik di Indonesia yang terkena masalah hukum karena berurusan dengan sapi. Jadi belajarlah filosofi dua ekor sapi untuk mendalami pandangan dunia (Weltanschauung) dari bermacam-macam ideologi.

OK, kembali ke kegiatan doktoral. Darah Juang!


Oldenburg, 25 April 2014

iscab.saptocondro

Wednesday, April 16, 2014

Kuliah di IKIP

Seseorang: "Eh, Condro, apa kabar?"
Aku: "Lumayan. Lu gimana?"
Seseorang: "Baik-baik aja. Sekarang lu ngapain?"
Aku: "Kuliah lagi."
Seseorang: "Kuliah apaan? Di mana?"
Aku: "Kuliah di IKIP."
Seseorang: "IKIP?"
Aku: "Iya. IKIP Oldenburg, jurusan Psikologi"
Seseorang: "..."

***

Kira-kira begitulah obrolan imajinerku dengan tembok dan jeruk. Sejak Oktober lalu, aku terdaftar menjadi mahasiswa psikologi di Universitas Oldenburg, di Sachsen Hilir, Jerman. Universitas ini dulunya UPI (Universitas Padahal IKIP). Kalau di Bandung, UPI itu Universitas Pendidikan Indonesia, yang dulu bernama IKIP Bandung, singkatan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (wiki: en,id), tempat mendidik orang supaya menjadi guru. Walau kini banyak juga lulusannya yang menjadi pramugari.

Carl von Ossietzky Universität Oldenburg itu dulu sekolah tinggi pendidikan yang bernama Pädagogische Hochschule Oldenburg atau Pedagogical College Oldenburg (wiki: en,de). Tempat ini masih terkenal sebagai tempat pendidikan untuk calon guru, walau sudah beralih menjadi universitas di tahun 1973. Kini sejak adanya cluster of excellence "Hearing4All", universitas ini makin dikenal dengan penelitian di bidang akustik dan pengolahan sinyal audio, yang dasarnya sudah diletakkan sejak tahun 1990-an.

Jadi kini, aku sudah tidak mengobrol dengan jeruk lagi. Aku sekarang menjadi mahasiswa psikologi di IKIP Oldenburg dan mengobrol dengan manusia. Berbeda dengan sastra listrik, pada jurusan psikologi, proporsi mahasiswi lebih tinggi daripada mahasiswa. Jadi obrolannya lebih menyenangkan dan banyak yang berpelukan. Di jurusan teknik elektro eh sastra listrik, jarang sekali pelajarnya saling berpelukan.

OK, sejujurnya aku bingung kenapa para mahasiswi senang memeluk orang lain. Mungkin kampus ini memang kampus perdamaian sehingga orang-orang saling berpelukan. Carl von Ossietzky memang pernah memenangkan Nobel Perdamaian tahun 1935 (wiki: en,de,id). Nampaknya demi perdamaian dunia, aku juga perlu belajar berpelukan dengan para mahasiswi.

Saatnya aku kembali ke pekerjaanku, yang (seharusnya) penuh darah-darah perjuangan.


Oldenburg, 16 April 2014

iscab.saptocondro

Monday, March 17, 2014

Kembali ke kantor Oldenburg

Hari ini, akhirnya aku kembali ke kantorku di Jade HS Oldenburg. Selama 8 hari kerja, aku tidak ke kantor. Aku datang ke kantor jam 1 siang. Contoh pegawai negeri teladan?

Hari ini, aku kollokium di Uni Oldenburg pukul 10:30 pagi. Aku banyak mendapatkan informasi mengenai EEG dan fNIRS yang dipakai secara hybrid untuk mengamati atensi manusia terhadap rangsangan visual dan audio. Jadi aku datang ke kantor siang-siang bukan karena malas, melainkan karena tukar ilmu.

Minggu lalu, aku bersama mahasiswa-mahasiswi Assistive Technology, tiga rekan kerja dan dua Profesor, pergi excursion atau kuliah lapangan ke Hamburg. Selama seminggu, aku menimba pengalaman keilmiahan dan kemahasiswaan. Pengalaman ilmiah kudapatkan dari pagi sampai sore dalam bentuk kunjungan sana-sini dan merasakan beberapa demo teknologi dan presentasi. Pelajaran penting yang kudapatkan adalah kalau tak sengaja melihat penelitian rahasia/confidential (diduga militer), maka wajah kami harus difoto.



Pengalaman kemahasiswaan kuperoleh pada malam hari, dalam bentuk vitamin B33R. Pelajaran penting yang kupetik adalah vitamin B33R dari Irlandia bukan hal yang cocok buat perutku. Jerman lebih baik dan lebih membahagiakan. Jadi aku tidak masuk kantor seminggu, bukan karena malas, melainkan karena tidak mau kesepian di kantor ketika semua rekan kerja pergi kulap ke Hamburg.

Dua minggu lalu, aku menghadiri training 2 hari di Delmenhorst. Aku menerima ilmu PyMVPA (Python for Multivariate Pattern Analysis). Setelah melalui seleksi tidak ketat, hanya 1 banding 2, aku diterima ikut training tingkat Eropa ini. Training ini cocoknya untuk pengguna fMRI, sedangkan aku pengguna EEG. Entah kenapa, aku diterima. Lumayanlah, bisa kenal banyak orang dan dapat wawasan mengenai utak-atik data fMRI dan tantangannya. Jadi aku tidak masuk kantor, bukanlah karena malas, melainkan karena "ngelmu".



Sebelum training dua hari, aku mempersiapkan diri dengan belajar Numpy, suatu toolbox python untuk mengolah array, matriks dan hal-hal numerik. Satu hari Rabu, aku belajar di rumahku di Bremen. Aku tidak ke kantor karena alasan religius juga. Saat itu Rabu Abu (Ash Wednesday/ Aschermittwoch) dan aku ingin pergi ke gereja di Bremen yang dekat rumahku. Aku tak mau menghabiskan waktu dalam perjalanan rumah-kantor-gereja. Jadinya aku bekerja (belajar) di rumah lalu pergi ke gereja, dengan sepeda. Lumayan olahraga singkat dan udara segar.

Segala kegiatan training PyMVPA di Delmenhorst dan kulap Hamburg akan kuceritakan di blog Catatan Mahasiswa Doktoral milikku. Sebagian persiapannya telah kuceritakan sebelumnya:



Kini aku kembali ke kantor lagi. Aku harus mengembalikan otakku ke mode bekerja dan meneliti lagi. Aku harus melihat kesibukan apa lagi yang harus kuhadapi.

***

Daftar istilah:
  • EEG = Electroencephalography (wiki: en,de,id)
  • fNIRS = functional Near-Infrared Spectroscopy (wiki: en,en,de,id)
  • fMRI = functional Magnetic Resonance Imaging (wiki: en,de)


Oldenburg, 17 Maret 2014

iscab.saptocondro

Monday, March 3, 2014

Toilet tukang insinyur

Ada hal yang mengganggu pikiranku sebagai seorang (yang ingin jadi) engineer. Aku melihat hal-hal yang berbau teknologi dan engineering secara skeptis. Sebagai pembaca tulisanku, kalian juga harus kritis: bagaimana cara melihat bau?

Satu hal yang mengusik pikiranku adalah salah satu toilet pria di kantorku di Jade HS Oldenburg. Di sana, wastafel menyediakan putaran keran biru dan merah. Putaran biru itu simbol air dingin sedangkan merah itu simbol air panas. Ketika kuputar yang merah, air yang keluar tetap dingin. Mengapa?

Suatu hari aku melakukan investigasi. Kulihat pemanas air di bawah wastafel. Dia adalah pemanas listrik. Berdasarkan sambungan pipa air, seharusnya air panas bisa mengalir. Akan tetapi, aku melihat kabel listrik tidak tercolok. Aku pun celingak-celinguk mencari lubang colokan listrik pada tembok. Ternyata tidak ada!

Aku pun  menyadari bahwa engineer adalah mereka yang mendesain pemanas listrik tapi tidak menyediakan akses ke sumber listrik. Kampus ini menghasilkan lulusan arsitek dan teknik sipil. Akan tetapi, mengapa desain toiletnya seperti ini?



Seperti kata Pat Kay, temannya Sun Go Kong dan murid biksu Tong Sam Chong, "Memang begitulah engineering, deritanya tiada akhir".
Darah Juang! Darah Juang!


Oldenburg, 3 Maret 2014

iscab.saptocondro

Friday, February 28, 2014

Semester pertama di Oldenburg

Kini aku mulai berkarya di kota Oldenburg, di Jerman (wiki: en,de,id). Kota ini terletak di Sachsen Hilir atau Niedersachsen atau Lower Saxony (wiki: en,de,id), yang sebelah Barat, dekat Laut Utara. Sebagian nenek moyang orang Oldenburg adalah pelaut Hanseatic. Mereka berdagang dengan Hansa Cog (Hansa Kogge), suatu kapal kecil. Zaman dahulu, daerah ini adalah daerah Frisian. Sebagian daerah Frisian menjadi wilayah Belanda, kemudian susu di sana menjadi susu Frisian Flag. Sebagian lain, menjadi wilayah Jerman, kemudian susu di sini menjadi Oldenburg Milk. Apapun susunya, semua berasal dari ibu. Dalam hal ini, ibu sapi.
Mengapa aku jadi membicarakan susu?

Kembali ke topik. Aku berada di Oldenburg karena terdaftar menjadi mahasiswa di Carl von Ossietzky Universität Oldenburg, disingkat Uni Oldenburg (wiki: en,de). Berhubung aku masih bingung dengan sistem penerimaan mahasiswa doktoral di suatu graduate school di Uni Oldenburg ditambah pegawai administrasi bilang kalau fakultasku belum dibuka, mereka memberi surat/kartu pelajar (Immatrikulationbeschenigung) yang menyebut aku mahasiswa psikologi. Berikutnya aku dapat kartu bertuliskan "Neurosensory Science and Systems".

Walau aku tercatat sebagai mahasiswa psikologi di Uni Oldenburg, aku berkantor di Jade Hochschule Oldenburg (wiki: en,de,de). Di Jerman, Hochschule itu "university of applied science" atau Sekolah Tinggi. Di sana aku bereksperimen dengan sinyal otak (EEG), robot, dll untuk studi doktoralku. Bulan-bulan ke depan, aku juga akan sering meneliti di Fraunhofer IDMT di Oldenburg (wiki: de). Pembimbing utamaku berkantor di Jade HS Oldenburg dan Fraunhofer IDMT. Karena posisinya gaib, sulit ditebak di mana, jadi Profesorku ini membuatku menjadi sama-sama makhluk gaib yang harus bisa berpindah-pindah tempat. Oh, ya, kadang ada kegiatanku di Uni Bremen, AWI di Bremerhaven, IAS di Delmenhorst, dll jadinya mobilitas gaib adalah bagian dari ngélmu.

Kini terjawab sudah mengapa aku membuat blog tentang Niedersachsen, sesuai janjiku pada posting sebelumnya: Mukadimah.

Sekarang kembali pada perjuangan doktoral.
Darah Juang!


Oldenburg, 28 Februari 2014

iscab.saptocondro

Sunday, February 2, 2014

Mukadimah

Hallo,

Blog ini akan dibuat untuk menceritakan kisah hidupku di Niedersachsen atau Lower Saxony di Jerman. Alasan dan tujuan akan diceritakan di posting berikutnya.


Bremen, 2 Februari 2014

iscab.saptocondro