Thursday, September 1, 2016

Mati listrik di kantor Oldenburg

Kemarin di kantor Jade HS Oldenburg mati lampu. Listrik tidak mengalir seharian karena ada pemeriksaan jaringan listrik. Aku pun berada di Bremen (baca Catatan PhD Berdarah, 30 Agustus 2016), untuk mengerjakan hal-hal yang bisa kukerjakan di rumah. Bekerja di kantor cukup rumit karena batere laptop sudah soak dan harddisk eksternal harus selalu tersambung ke jala-jala listrik.

Aku teringat bahwa di Jerman, jarang sekali aku merasakan mati listrik. Di Bremen, sempat kudapatkan surat pemberitahuan akan pemadaman bergilir. Akan tetapi saat itu aku berada di kantor, jadinya aku tidak merasakan padamnya listrik. Ketika aku masih kuliah master di Bremen, hanya dua kali dalam lima tahun, aku merasakan mati listrik di malam hari. Aku pun jadi kangen dengan masa-masa mati lampu di (kabupaten) Bandung, Indonesia, yang nyaris setiap hari. Ketika mati lampu, bintang-bintang Selatan bisa nampak lebih jelas kulihat dari atas genteng rumahku di Margahayu Permai dulu.

Kali ini, aku pertama kali mendapatkan mati listrik di Niedersachsen. Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu. Aku pun mulai merenungkan bahwa aku harus bisa tetap produktif dalam risetku dengan kesadaran penuh: apa yang bisa kukerjakan di rumah dan di kantor, dengan sumber daya masing-masing lokasi. Padamnya listrik membuatku tersadar bahwa hambatan selalu ada, tapi aku tidak boleh lupa dengan tujuanku sebagai pekerja sains. Aku harus bergerak terus ke depan, menyelesaikan masalah, satu per satu dan langkah demi langkah.
Habisi!


Oldenburg, 1 September 2016

iscab.saptocondro

Thursday, December 31, 2015

Selamat Natal 2015 dan Tahun Baru 2016

Hari ini hari ketujuh Natal dan aku baru sempat menuliskan posting Natal. Nanti akan berganti tahun dan besok akan ganti tanggalan. Semoga aku menjadi manusia baru, tanpa resolusi tahun baru yang tidak kulaksanakan. Oleh karena itu kuucapkan:

Selamat Natal dan Tahun Baru!
Frohe Weihnachten und Guten Rutsch ins neue Jahr!
Feliz Navidad, próspero año y felicidad!
Merry Christmas and Happy New Year!

***

Seperti biasa, aku berkomitmen menulis pesan Natal setiap tahun. Tahun ini, aku ingin bersyukur karena bisa mengalami undangan kumpul-kumpul Natal di berbagai lokasi di Oldenburg dan Bremen. Ada lingkar sosial baru di Oldenburg yang mengajakku bernatalan bersama.

Di Oldenburg, seperti biasa, aku menghadiri Weihnachtsfeier (makan-makan Natal), bersama rekan kerja di TGM Jade Hochschule Oldenburg (baca Catatan Doktoral Berdarah, 11 Desember 2015). Seperti biasa, kami pergi ke Lamberti Markt di pusat kota untuk meminum satu atau dua gelas Glühwein. Kemudian kami pergi menuju tempat makan. Ada dekan yang membaca puisi. Obrolan di meja makan adalah seputar Star Wars. Saat itu, ada premiere Star Wars: The Force Awakens di Bremen dan aku pulang "nebeng" kawan yang ingin nonton ini.

Demi acara di atas, aku tidak mengikuti cemilan Natal bersama rekan kursus Bahasa Spanyol. Aku harus memilih undangan mana yang perlu kuikuti. Kuhadiri yang aku sudah daftar duluan.

Kuikuti pula Weihnachtsfeier bersama international PhD student Uni Oldenburg, dan ternyata aku makan menu yang sama dengan Natal tahun sebelumnya (baca Catatan Doktoral Berdarah, 2 Desember 2015). Yang hadir 20 orang lebih. Sepertinya mahasiswa-mahasiswi doktoral semakin banyak. Dalam galau, aku tak tahu apakah ini makan-makan Natal terakhir bersama kawan-kawan ini. Tahun 2016, aku masih belum tahu bagaimana keberlangsungan studi doktoral yang kudalami.

Karena aku telah mendaftar Weihnachtsessen (makan-makan Natal) bersama KHG Oldenburg, aku menghadiri acara ini. Gedungnya sudah selesai direnovasi, jadinya aku salah masuk gedung. Aku kira acara masih di asrama mahasiswa, seperti masa-masa renovasi, ternyata sudah kembali ke gedung KHG. Obrolan Natal seputar jokes-jokes tentang gereja Katolik. Ada hal yang menarik pada suatu obrolan tentang Trinitas, yaitu konsep trinitas ini adalah suatu doktrin Gereja, bukan sesuatu yang perlu dimengerti. Jadi sebagai orang Kristen, cukup menerima doktrin ini, tanpa perlu tahu bagaimana dan mengapa. Nasihat yang cocok buatku yang kritis. Aku betul-betul tak mengerti konsep Trinitas: Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Namun aku tetap hadir ke Gereja Katolik dan gereja-gereja lainnya yang menggunakan doktrin ini. Aku cukup puas dengan spiritualisme Kristen tanpa perlu mengerti doktrin-doktrin rumit yang kalau semakin dipikirkan malah bikin meragukan agamaku. Oh, ya, jokes saat itu adalah "bagaimana bentuk rahim Roh Kudus?" atau "bagaimana bentuk uterus Roh Kudus?".

Tahun ini, untuk pertama kali, kuikuti Neuropsychologie Weihnachtfeier, bersama grup Pembimbing II. Sebelum acara ini, ada training di grup ini tentang cara membuat spatial filter. Jadi semua orang dari training, langsung pergi ke rumah Pembimbing II. Sedangkan aku sibuk mengopi data dari komputer Uni Bremen ke laptop pribadi. Kemudian aku belanja cemilan lalu pergi naik sepeda ke rumah tujuan. Ternyata aku tersesat. Ketika gelap, rumah-rumah di Oldenburg bentuknya mirip dan belokannya aneh. Akhirnya aku pun sampai juga ke sana. Suasananya hangat. Banyak mahasiswi thesis yang hadir. Juga mahasiswa-mahasiswi doktoral serta para peneliti post-doc, beserta keluarga mereka. Aku masih sungkan dan malu-malu dengan grup Pembimbing II. Aku belum begitu akrab. Obrolan di sana, seputar Star Wars, musik, dan keluarga.

Alasanku mengopi data tersebut ialah aku berencana selama liburan Natal dan Tahun Baru, aku bisa mengolah data di rumah. Tapi ternyata rencana tak kesampaian. Liburan hendaknya untuk berlibur. Aku hanya sempat mencoba sedikit script MATLAB, tapi akhirnya malah sibuk menonton Kartika Yudha (Star Wars), episode 1 s.d. 6., ditambah film-film 2015 yang tidak sempat kutonton di bioskop.

Aku juga mencoba mengikuti acara Weihnachtsbasteln (prakarya Natal), bersama PhD Student internasional Uni Oldenburg (baca Catatan Doktoral Berdarah, 2 Desember 2015). Tahun sebelumnya, aku tak mengikuti ini. Kali ini, aku ingin merasakan bagaimana membuat hiasan Natal dan membungkus kado. Berhubung aku tidak terlalu kreatif, aku hanya membuat satu hiasan botol dan satu kartu Natal. Sisanya aku mengobrol dan menjadi DJ untuk memilih musik Natal.

Ada beberapa kegiatan Natal di Oldenburg yang tidak kuikuti: Weihnachtsfeier bersama mahasiswa-mahasiswi TGM Jade HS Oldenburg, juga bersama mahasiswa/i Psikologi Uni Oldenburg, dan menghias pohon Natal bersama graduate school.

***

Di Bremen, seperti biasa aku mengikuti Natal bersama Perki Bremen (baca Catatan Doktoral Berdarah, 11 Desember 2015). Kebaktian yang aneh dan tidak terlalu cocok untukku. Aku mengharapkan Natal yang bersuasana kekeluargaan dan hangat seperti lagu Silent Night. Akan tetapi, pendeta yang hadir membawa kotbah yang lebih mirip propaganda dan penuh jargon, tapi tidak ada tuahnya. Mungkin hal ini cocok dengan umat di gereja mereka. Urutan lagu dalam ibadah juga terasa aneh. Tapi bisa dimaklumi, karena mungkin aku masih dalam suasana Advent sedangkan panitia sudah merasa Natal. Seorang Katolik tidak akan menyanyikan Gloria sebelum bayi Yesus lahir. Juga Silent Night dinyanyikan pada bagian akhir ibadah.

Usai ibadah, ada perayaan Natal berupa festival of light. Ruangan dibuat gelap dan ada permainan cahaya lampu, dalam teatrikal kelahiran bayi Yesus. Kemudian dilanjutkan dengan koor dan musik yang dibawakan oleh mereka yang sudah daftar.

Sebelum acara Natal bersama Perki Bremen, aku menonton paduan suara GCC Bremen (baca Catatan Doktoral Berdarah, 11 Desember 2015). Baru kali ini, aku mengikuti acara ini dari awal hingga akhir. Aku baru tahu kalau di awal acara ada kotbah. Aku merasa kalau ini fair. GCC butuh tempat acara menyanyi. Penyedia tempat ingin mendakwahi hadirin. Jadinya kepentingan keduanya bisa terlaksana dalam acara ini. Aku pun tertidur saat kotbah. Beberapa lagu dibawakan dengan cara yang kusuka, hingga cocok dengan kupingku. Ada satu lagu yang menggunakan kata "Ding Dong", yang kurang mantap karena tidak sinkron antara penyanyi koor. Usai konser, ada makan-makan soto. Lumayan, aku dapat soto. Aku juga dapat undangan makan-makan Natal lagi.

Malam Natal, aku mengikuti Misa di St. Johann, Bremen. Kemudian aku mengikuti acara makan-makan Natal di Pfarrheim untuk pertama kali, selama di Bremen. Hadir beberapa orang tua di Bremen. Ada beberapa kursi kosong yang seharusnya untuk refugee/pengungsi. Akan tetapi, mereka pindah ke lokasi lain di Bremen. Hanya ada satu pengungsi dari Nigeria dan anaknya, yang bergabung di acara ini. Walau aku sudah menambah berkali-kali, tetap ada sisa makanan. Usai makan, ada nyanyi bersama di seputar pohon Natal.



Pulangnya gerimis. Aku pun teringat 20 tahun lalu, ketika aku menanti seorang wanita di bawah gerimis Natal. Wanita itu tidak datang. Yang hadir adalah seorang kawan dan dia memberiku kue untuk menghiburku. Kini aku terharu, karena aku bisa merasakan gerimis usai kebersamaan dengan kenalan baru di St. Johann. Rasa yang mirip ketika kawanku hadir menemaniku dan memberiku kue, 20 tahun yang lalu.



Hari Natal masih gerimis. Katanya Natal ini ada bulan purnama. Sayang sekali, aku tak bisa melihat purnama tersebut. Aku hanya melihat bulan tak purnama sempurna, hari sebelum dan sesudahnya.

Hari kedua Natal, aku mengikuti undangan makan-makan Natal bersama satu keluarga Indonesia, yang lokasi rumahnya serasa ujung dunia. Satu kelompok kecil mahasiswa hadir. Aku mudah mengobrol di grup kecil daripada besar. Aku banyak mendengar info mengenai beberapa kegiatan orang Indonesia tahun depan. Aku pun membawa pulang daging kalkun yang cukup banyak dan cukup untuk 5 hari.

***

Tiada pesan Natal yang bertuah di tahun ini. Aku hanya ingin bersyukur atas segenap kehangatan Natal bersama kenalan lama dan baru, baik di Bremen maupun Oldenburg. Dengan undangan yang ada, aku pun terlena dan terlupa untuk mengucap selamat Natal via telepon kepada kawan-kawan yang selalu dekat di hatiku. Aku pun hanya bisa memberi pesan singkat di grup Whatsapp, dan tiada kesan yang personal dan mendalam. Aku memohon ampun karena kurang menghayati Natal secara personal dengan kawan-kawanku. Mungkin aku keracunan deadline Desember dan kekuatiran akan pekerjaan tahun depan dan mungkin juga aku semakin egois dan ingin menyendiri supaya tidak terlalu banyak ditanya-tanya tentang status pekerjaan dan cinta.

Semoga kehangatan Natal bersama kawan-kawan juga bisa kurasakan bersama keluarga di tahun-tahun berikutnya.

***

Tulisan Natal yang lalu
Menghitung berapa Natal yang kulalui di Jerman.

***

Hari keempat Natal, akhirnya aku nonton Star Wars: The Force Awakens. Aku bertemu dengan satu profesor TGM Jade HS Oldenburg. Dia telah menonton versi bahasa Jerman dan kemudian nonton versi bahasa Inggris di waktu yang sama denganku. Kalau ada Ben Stiller, mungkin judul Star Wars bisa jadi Meet The Skywalkers. Konflik keluarga inilah yang menghiasi Kartika Yudha di galaksi nun jauh ini. Salah satu alasan aku lupa mengirim pesan Natal kepada kawan-kawan adalah maraton Star Wars episode 1 s.d. 6, demi persiapan nonton ke-7. Maafkan aku kawan-kawan, semua!

May The Force be with you!
Selamat Natal dan Tahun Baru!


Bremen, 31 Desember 2015

iscab.saptocondro


Monday, May 5, 2014

Setelah kulewati garis kematian

Bulan April lalu adalah masa-masa yang membuatku sibuk dengan dua laporan dan satu proposal. Dua laporan praktikum/kuliah blok Signal Processing and Acoustic. Satu proposal riset yang sulit kukerjakan karena jadwalku dan pembimbingku tidak pernah cocok. Aku memilih untuk memulai dengan proposal riset dan ternyata pilihan ini salah. Aku tidak bisa menulis secara progresif. Kemudian ketika mendekati deadline laporan di akhir April, aku menulis dua laporan tersebut yang ternyata tak semudah yang kubayangkan.



Ternyata kemampuanku mengetik rumus LaTeX tidak secepat yang kubayangkan. Ternyata copy-paste (salin-pasang) gambar dari MATLAB ke LaTeX tidak semudah yang kubayangkan karena jumlah gambar yang banyak. Jika aku tahu hal seperti ini bakal terjadi, seharusnya kumulai dengan dua laporan barulah aku mengerjakan proposal. Aku terbiasa mengerjakan hal yang jelas ujung-pangkalnya lebih dahulu  atau hal yang mudah kumengerti kemudian barulah aku mengerjakan hal yang sulit dan tak jelas arahnya.



Keputusanku yang salah ini membuat tulisanku pada kedua laporan tersebut menjadi jelek walaupun terkirim sebelum deadline: 30 April 2014, 24:00. Selain itu, proposal juga tidak selesai. Aku gagal di ketiganya. Ternyata urutan mengerjakan suatu hal itu punya dampak "sistemik".



Kini aku mulai berhati-hati dalam mengambil kuliah, karena jadwalnya dan deadline tugasnya bisa mengganggu penelitianku. Aku juga harus berhati-hati dengan urusan administratif dari universitas, bank, kantor pajak, maupun kantor imigrasi, yang menghabiskan waktu dan pikiranku. Aku harus waspada, tidak boleh kehilangan kunci seperti tahun lalu yang membuat bulan Novemberku rusak karena harus bolak-balik mengurus duplikat kunci. Bikin janji sama orang juga kukurangi.


***

Pada hari Rabu 30 April 2014, aku berada dari pagi hingga malam di perpustakaan Uni Oldenburg. Aku menulis dua laporan Signal Processing Acoustic I and II. Aku sudah memasukkan yang II ke Dropbox minggu sebelumnya, akan tetapi partnerku meminta koreksi dan beberapa tambahan. Sedangkan aku juga harus menulis yang I. Akhirnya kucoba menulis semampuku. Jam 22:30, partnerku untuk kuliah II merasa puas. Aku pun kembali menyelesaikan kuliah I. Ternyata gambar-gambarnya sangat banyak. Akhirnya aku hanya menaruh gambar dan tidak menulis banyak penjelasan. Jam 23:30, semua sudah kutaruh di Dropbox: "selesai tak selesai, kumpulkan".



Jam 24:00 perpustakaan tutup. Dari smartphone, kulihat jadwal bus 23:38. Aku pun tak mampu mendapatkan bus itu. Aku harus mematikan laptop dan packing barang-barang. Aku lihat jadwal kereta terakhir adalah 00:06. Karena tiada bus lagi, aku menghitung bahwa tak mungkin aku mendapatkan kereta ini. Kereta baru ada lagi jam 5:35 pagi. Saat itu, pilihanku sedikit:
  • menginap di rumah teman di Oldenburg, lalu keesokan hari pulang ke Bremen
  • menginap di hotel atau hostel di Oldenburg
  • naik taksi dari Oldenburg ke Bremen
  • keliling-keliling Oldenburg sampai pagi lalu pulang ke Bremen

Aku baru selamat melewati garis kematian (deadline) dari dua laporan, namun tidak selamat melewati deadline transportasi bus dan kereta api. Bagaimanakah pilihanku selanjutnya?

Aku mencoba menelpon temanku di Oldenburg. Tiada jawaban. Jadi pilihan menginap di rumah teman harus kucoret. Naik taksi dari Oldenburg ke Bremen berbiaya 85 EUR. Cukup mahal! Menginap di hostel berbiaya 43 EUR tapi biasanya hostel meminta booking terlebih dahulu, kaga bisa dadakan. Selain itu, aku juga harus mencari di mana hostel tersebut berada. Akhirnya kupilih keliling Oldenburg sampai pagi. "Dari jam 12 malam sampai jam 5 pagi, apa yang harus kulakukan?", pikirku saat itu.

Aku menaruh tasku nan berat dengan laptop dan catatan di stasiun Oldenburg. Sebelumnya aku berjalan kaki 3,5 km dari universitas ke stasiun karena ketinggalan bus. Setelah menaruh tas, aku kembali ke kota dan melihat-lihat apa saja kehidupan malam yang ditawarkan di sana.

Di kota, aku tak sengaja bertemu Number Two (Oh, ya, I am Number Sixteen). Lepas tengah malam, dia ingin pulang ke rumahnya. Aku curhat kilat mengenai garis kematian pengolahan sinyal dan kalau aku ketinggalan kereta jadi harus menunggu 5 jam kereta berikutnya. Aku bertanya bar dan kafe apa saja yang buka dari malam sampai pagi. Dia memberiku beberapa pilihan lokasi.

Setelah mengobrol sebentar dengan Number Two dan pacarnya, aku melanjutkan perjalananku keliling Oldenburg. Aku tidak tahu kehidupan malam seperti apa di Oldenburg. Aku melihat beberapa Irish Pubs dan semuanya penuh. Aku pun berjalan semakin dalam ke pusat kota. Aku berpikir Bar Celona di tengah kota adalah tempat yang cocok untuk duduk dan minum sambil menunggu pagi.

Sebelum sampai di sana, aku bertemu sekelompok orang muda yang teralkoholisasi. Satu orang yang termabuk tiba-tiba mengajak bicara. Dia bertanya aku dari mana dan mau ke mana. Aku bilang aku ketinggalan kereta dan menunggu kereta pagi dengan keliling-keliling merasakan dunia malam Oldenburg. Lalu dia mengajakku bergabung dengan grupnya. Aku pun mengiyakan. Aku bergabung.

Mereka yang mengajakku bergabung adalah orang-orang yang sedang merayakan ulang tahun satu orang. Entah kenapa, aku bisa diajak gabung. Daripada aku kesepian, aku pun ikut mereka ke klub manapun yang mereka masuki. Mereka pun berbagi Havana Cola bersamaku. Kami pun berkenalan dan mengobrol ringan selama mengantri masuk klub.

Klub pertama adalah Amadeus dan antriannya panjang.Tempat ini bertema rock. Lagunya tidak pas buatku dan sebagian besar di antara kami. Aku tidak cocok dengan hard rock. Di sini, aku bertemu rekan kerjaku di Jade HS Oldenburg. Dia suka rock.  Biaya masuk 4 EUR, titip jaket 1 EUR, dan aku minum 1 bir seharga 2,5 EUR. Totalnya 7,5 EUR. Seingatku, aku ditraktir minum bir, jadinya aku keluar uang 5 EUR di sini.

Berhubung banyak yang tidak cocok dengan Amadeus, kami pun keluar dan mencari klub lain. Klub kedua adalah Cubes dan antriannya panjang juga. Oh, ya, grup yang mengajakku berkata bahwa klub yang bagus adalah klub yang antriannya paling panjang. Tempat ini bertema hip-hop, reggaeton, dan pop, sesuai seleraku. Di klub ini ada "Tanz in den Mai" (Tarian memasuki bulan Mei). Di dalam klub, lagu-lagunya cocok dengan selera kami. Kami pun berdansa berdansa. Biaya masuk 5 EUR dan titip jaket 1 EUR. Aku pun hanya meminum air bening seharga 2,5 EUR. Jadinya aku keluar uang 8,5 EUR di sini.

Di Cubes, aku berpisah dengan grup yang mengajakku. Mereka keluar klub jam 4 pagi lalu menginap di Oldenburg. Sedangkan aku menunggu kereta jam 5:35 yang akan membawaku ke Bremen. Oh, ya, grup yang mengajakku ini mayoritas berasal dari Bremen. Mereka sama sepertiku, sama sekali tidak kenal Oldenburg. Jadinya mereka memilih klub secara acak, dan hanya melihat panjang antrian masuk sebagai patokan.

Jam 5 kurang, aku keluar dari Cubes lalu berjalan menuju stasiun. Lalu ada orang mabuk lagi yang memanggilku dan mengajak ngobrol. Aku mengobrol sebentar lalu melanjutkan ke stasiun. Sesampainya di stasiun, kuambil tasku dari loker dan kutunggu kereta 5:35. Kereta ini pun membawaku sampai ke Bremen.

Garis kematian ini memberiku kenangan yang berbekas. Aku jadi mengerti kehidupan malam di Oldenburg. Aku juga jadi mengerti bahwa sepeda memiliki peranan penting di Oldenburg. Berjalan kaki 3,5 km itu lama juga: 45 menit. Aku juga belajar bahwa kita harus waspada terhadap peristiwa kebetulan. Kadang hal tak terduga bisa memberi kita suatu hal bermakna. Karena suatu kebetulan, aku bisa berkenalan dengan orang baru. Gambar di bawah ini, menunjukkan bahwa garis kematian memberiku stigmata, pertanda bahwa aku lulus kursus bahasa roh.


Stigmata setelah melewati garis kematian, pertanda lahir baru dan lulus kursus bahasa roh


Kini aku kembali lagi dalam kehidupan selanjutnya, untuk melewati garis-garis kematian lainnya. Di sana, ada batu mil yang harus kulewati. Aku pun bingung kenapa mereka menggunakan batu mil (milestone), padahal di Jerman, orang menggunakan kilometer. Bukankah seharusnya "kilometerstone" lebih logis daripada "milestones"?

***

Garis kematian pengolahan sinyal bisa dibaca di tempat lain:
Kematian ini telah menebus dosa-dosa kebodohan. Aku pun lahir baru menjadi Anak Manusia.




Oldenburg, 5 Mei 2014

iscab.saptocondro

Friday, April 25, 2014

Kontainer Cairan

Hari ini, aku bertemu Rani, mantan Ketua PPI Bremen. Kali ini, obrolan di bawah ini bukan obrolan imajiner seperti obrolan IKIP lalu.

Rani: "Condro!"
Aku: "Eh, Rani! Apa kabar?"
Rani: "Baik! Lu lagi ngapain di sini?"
Aku: "Mau PhD meeting. Lu lagi bawa susu?"
(melihat kontainer cairan yang digotongnya)
Rani: "Bukan! Ini liquid nitrogen."
(Oh, ternyata nitrogen cair)
Aku: "Lu ke gedung mana?"
Rani pun menunjuk ke gedung W3.
Rani: "Bye!"
Secepat kilat kami pun menghilang ke gedung tujuan masing-masing.

***

Hari ini, aku kurang tidur karena keracunan deadline selama bulan April ini. Mengapa aku membayangkan kontainer susu cair? Padahal ini bukan peternakan sapi di Oldenburg maupun di Pangalengan atau Lembang. Ini Universitas Oldenburg, kampus Wechloy, tempat bersemayamnya mahasiswa-mahasiswi dan peneliti fisika, kimia dan biologi. Jadi kontainer nitrogen cair lebih masuk akal daripada susu sapi.

Aku pun teringat masa-masa tiga bulan pertama di Bayern atau Bavaria dulu tinggal dekat kandang sapi. Aroma susu sapi dan tahi sapi bergonta-ganti tersebar di udara. Kini, di Jerman Utara, yang kucium pagi hari ini adalah aroma fermentasi biji-bijian menjadi bir Becks. Memang setiap kota dan kampung memiliki aroma yang berbeda-beda.

Aku pun teringat bahwa seekor sapi mengajarkanku mengenai Logika dan Teori Himpunan. Sapi yang sehat memiliki 2 kaki depan, 2 kaki belakang, 2 kaki kanan dan 2 kaki kiri. Berapakah jumlah kaki sapi ini?

Orang yang tidak bisa menguasai kebijaksanaan sapi, akan terjerumus oleh sapi. Aku pun teringat pimpinan partai politik di Indonesia yang terkena masalah hukum karena berurusan dengan sapi. Jadi belajarlah filosofi dua ekor sapi untuk mendalami pandangan dunia (Weltanschauung) dari bermacam-macam ideologi.

OK, kembali ke kegiatan doktoral. Darah Juang!


Oldenburg, 25 April 2014

iscab.saptocondro

Wednesday, April 16, 2014

Kuliah di IKIP

Seseorang: "Eh, Condro, apa kabar?"
Aku: "Lumayan. Lu gimana?"
Seseorang: "Baik-baik aja. Sekarang lu ngapain?"
Aku: "Kuliah lagi."
Seseorang: "Kuliah apaan? Di mana?"
Aku: "Kuliah di IKIP."
Seseorang: "IKIP?"
Aku: "Iya. IKIP Oldenburg, jurusan Psikologi"
Seseorang: "..."

***

Kira-kira begitulah obrolan imajinerku dengan tembok dan jeruk. Sejak Oktober lalu, aku terdaftar menjadi mahasiswa psikologi di Universitas Oldenburg, di Sachsen Hilir, Jerman. Universitas ini dulunya UPI (Universitas Padahal IKIP). Kalau di Bandung, UPI itu Universitas Pendidikan Indonesia, yang dulu bernama IKIP Bandung, singkatan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (wiki: en,id), tempat mendidik orang supaya menjadi guru. Walau kini banyak juga lulusannya yang menjadi pramugari.

Carl von Ossietzky Universität Oldenburg itu dulu sekolah tinggi pendidikan yang bernama Pädagogische Hochschule Oldenburg atau Pedagogical College Oldenburg (wiki: en,de). Tempat ini masih terkenal sebagai tempat pendidikan untuk calon guru, walau sudah beralih menjadi universitas di tahun 1973. Kini sejak adanya cluster of excellence "Hearing4All", universitas ini makin dikenal dengan penelitian di bidang akustik dan pengolahan sinyal audio, yang dasarnya sudah diletakkan sejak tahun 1990-an.

Jadi kini, aku sudah tidak mengobrol dengan jeruk lagi. Aku sekarang menjadi mahasiswa psikologi di IKIP Oldenburg dan mengobrol dengan manusia. Berbeda dengan sastra listrik, pada jurusan psikologi, proporsi mahasiswi lebih tinggi daripada mahasiswa. Jadi obrolannya lebih menyenangkan dan banyak yang berpelukan. Di jurusan teknik elektro eh sastra listrik, jarang sekali pelajarnya saling berpelukan.

OK, sejujurnya aku bingung kenapa para mahasiswi senang memeluk orang lain. Mungkin kampus ini memang kampus perdamaian sehingga orang-orang saling berpelukan. Carl von Ossietzky memang pernah memenangkan Nobel Perdamaian tahun 1935 (wiki: en,de,id). Nampaknya demi perdamaian dunia, aku juga perlu belajar berpelukan dengan para mahasiswi.

Saatnya aku kembali ke pekerjaanku, yang (seharusnya) penuh darah-darah perjuangan.


Oldenburg, 16 April 2014

iscab.saptocondro

Monday, March 17, 2014

Kembali ke kantor Oldenburg

Hari ini, akhirnya aku kembali ke kantorku di Jade HS Oldenburg. Selama 8 hari kerja, aku tidak ke kantor. Aku datang ke kantor jam 1 siang. Contoh pegawai negeri teladan?

Hari ini, aku kollokium di Uni Oldenburg pukul 10:30 pagi. Aku banyak mendapatkan informasi mengenai EEG dan fNIRS yang dipakai secara hybrid untuk mengamati atensi manusia terhadap rangsangan visual dan audio. Jadi aku datang ke kantor siang-siang bukan karena malas, melainkan karena tukar ilmu.

Minggu lalu, aku bersama mahasiswa-mahasiswi Assistive Technology, tiga rekan kerja dan dua Profesor, pergi excursion atau kuliah lapangan ke Hamburg. Selama seminggu, aku menimba pengalaman keilmiahan dan kemahasiswaan. Pengalaman ilmiah kudapatkan dari pagi sampai sore dalam bentuk kunjungan sana-sini dan merasakan beberapa demo teknologi dan presentasi. Pelajaran penting yang kudapatkan adalah kalau tak sengaja melihat penelitian rahasia/confidential (diduga militer), maka wajah kami harus difoto.



Pengalaman kemahasiswaan kuperoleh pada malam hari, dalam bentuk vitamin B33R. Pelajaran penting yang kupetik adalah vitamin B33R dari Irlandia bukan hal yang cocok buat perutku. Jerman lebih baik dan lebih membahagiakan. Jadi aku tidak masuk kantor seminggu, bukan karena malas, melainkan karena tidak mau kesepian di kantor ketika semua rekan kerja pergi kulap ke Hamburg.

Dua minggu lalu, aku menghadiri training 2 hari di Delmenhorst. Aku menerima ilmu PyMVPA (Python for Multivariate Pattern Analysis). Setelah melalui seleksi tidak ketat, hanya 1 banding 2, aku diterima ikut training tingkat Eropa ini. Training ini cocoknya untuk pengguna fMRI, sedangkan aku pengguna EEG. Entah kenapa, aku diterima. Lumayanlah, bisa kenal banyak orang dan dapat wawasan mengenai utak-atik data fMRI dan tantangannya. Jadi aku tidak masuk kantor, bukanlah karena malas, melainkan karena "ngelmu".



Sebelum training dua hari, aku mempersiapkan diri dengan belajar Numpy, suatu toolbox python untuk mengolah array, matriks dan hal-hal numerik. Satu hari Rabu, aku belajar di rumahku di Bremen. Aku tidak ke kantor karena alasan religius juga. Saat itu Rabu Abu (Ash Wednesday/ Aschermittwoch) dan aku ingin pergi ke gereja di Bremen yang dekat rumahku. Aku tak mau menghabiskan waktu dalam perjalanan rumah-kantor-gereja. Jadinya aku bekerja (belajar) di rumah lalu pergi ke gereja, dengan sepeda. Lumayan olahraga singkat dan udara segar.

Segala kegiatan training PyMVPA di Delmenhorst dan kulap Hamburg akan kuceritakan di blog Catatan Mahasiswa Doktoral milikku. Sebagian persiapannya telah kuceritakan sebelumnya:



Kini aku kembali ke kantor lagi. Aku harus mengembalikan otakku ke mode bekerja dan meneliti lagi. Aku harus melihat kesibukan apa lagi yang harus kuhadapi.

***

Daftar istilah:
  • EEG = Electroencephalography (wiki: en,de,id)
  • fNIRS = functional Near-Infrared Spectroscopy (wiki: en,en,de,id)
  • fMRI = functional Magnetic Resonance Imaging (wiki: en,de)


Oldenburg, 17 Maret 2014

iscab.saptocondro

Monday, March 3, 2014

Toilet tukang insinyur

Ada hal yang mengganggu pikiranku sebagai seorang (yang ingin jadi) engineer. Aku melihat hal-hal yang berbau teknologi dan engineering secara skeptis. Sebagai pembaca tulisanku, kalian juga harus kritis: bagaimana cara melihat bau?

Satu hal yang mengusik pikiranku adalah salah satu toilet pria di kantorku di Jade HS Oldenburg. Di sana, wastafel menyediakan putaran keran biru dan merah. Putaran biru itu simbol air dingin sedangkan merah itu simbol air panas. Ketika kuputar yang merah, air yang keluar tetap dingin. Mengapa?

Suatu hari aku melakukan investigasi. Kulihat pemanas air di bawah wastafel. Dia adalah pemanas listrik. Berdasarkan sambungan pipa air, seharusnya air panas bisa mengalir. Akan tetapi, aku melihat kabel listrik tidak tercolok. Aku pun celingak-celinguk mencari lubang colokan listrik pada tembok. Ternyata tidak ada!

Aku pun  menyadari bahwa engineer adalah mereka yang mendesain pemanas listrik tapi tidak menyediakan akses ke sumber listrik. Kampus ini menghasilkan lulusan arsitek dan teknik sipil. Akan tetapi, mengapa desain toiletnya seperti ini?



Seperti kata Pat Kay, temannya Sun Go Kong dan murid biksu Tong Sam Chong, "Memang begitulah engineering, deritanya tiada akhir".
Darah Juang! Darah Juang!


Oldenburg, 3 Maret 2014

iscab.saptocondro